Menyusuri pantai utara Jawa, kita dapat menemukan berbagai warisan budaya. Batik, yang jadi warisan dunia versi UNESCO, memiliki akar kuat di pantai utara (pantura). Pekalongan, kota di pesisir utara Jawa, adalah salah satunya. Menamakan diri “kota batik”, Pekalongan memang sudah sejak dulu dikenal sebagai salah satu sentra penghasil batik, disamping Yogyakarta dan Solo tentunya.
Tidak punya cukup waktu berkeliling di pusat grosir batik atau perkampungan sentra pembuatan batik, saya mencoba mengunjungi Museum Batik Pekalongan. Mentari yang membakar khas pesisir sudah mulai bergeser ke barat. Jam buka museum hampir habis, tapi sayang rasanya jika tidak berkeliling. Saya membayar tiket masuk museum Rp5.000,- di pintu masuk.
Saya didampingi pemandu museum berparas ayu memasuki ketiga ruang pamer. Kain-kain batik khas pesisir Jawa di pamerkan di ruangan utama. Dari motif batik Cirebon, Pekalongan, hingga Lasem (Rembang) dapat dijumpai di sini. Canting, dan bahan-bahan yang dipakai dalam pembuatannya turut pula dipamerkan.
Pemandu memang melarang saya memotret dan menyentuh koleksi. Saya mengabaikan larangan pertama. Sambil berkeliling, kamera yang menempel di pinggang saya jepretkan tanpa lampu kilat. Sekedar koleksi, pikir saya singkat!
Saya kurang berminat di ruang pamer kedua, yang memamerkan koleksi batik istri presiden dan wakilnya. Koleksi-koleksi di ruangan ini disumbangkan pertengahan Juli tahun ini, dan saat ini masih dipamerkan. Formalitas dan pencitraan agaknya tidak terpisahkan juga di museum yang buka setiap hari pukul 9.00-15.00 WIB ini.
Ruang pamer terakhir menyuguhkan koleksi kain batik dengan motif-motif khas Yogyakarta dan Solo. Beberapa peristiwa lampau yang turut menyertakan batik pun ditampilkan dalam foto-foto.
Ruang pamer agaknya tidak dapat mengambil hati saya, keingintahuan lebih terpuaskan di selasar workshop. Setelah kompor dinyalakan, lilin-lilin mulai cair, canting-canting mungil pun mulai menari di atas kain mori.
Saya beruntung, bersama beberapa rekan seperjalanan, kami tidak dimintai biaya tambahan. Biasanya, pengunjung yang akan mencoba membatik harus membayar ekstra untuk workshop semacam ini.
Tidak mudah, itu yang saya rasakan ketika mulai menulisi kain, walaupun dengan nama saya sendiri, bukan menggambar bunga, atau motif lainnya. Lilin yang saya goreskan tidak merata, seringkali terlalu banyak di awal, menembus kain menyentuh kulit. Panas.
Blok-blok motif untuk batik cetak juga tersedia, beragam motifnya. Pembilasan dan pewarnaan kain ditampilkan di museum ini dengan sederhana, mungkin sesederhana yang dilakukan para perajin batik. Museum dengan koleksi kurang lebih 1.700-an motif batik ini jelas sayang dilewatkan jika Anda punya waktu mampir disela perjalanan Anda melintasi pantura.
Bagi pecinta batik, berkunjunglah secara rutin. Setiap empat bulan koleksi akan diganti. Mengingat keterbatasan ruang pamer, tidak semua koleksi ditampilkan sekaligus, tapi bergiliran. Sayang, koleksi motif batik Semarang dan Maluku yang saya harap dapat dijumpai di sini belum ada. Mungkin lain waktu ketika saya kembali, koleksi yang saya harapkan sudah bisa dinikmati.
Sebelum menempuh kembali perjalanan, sempatkanlah menyeberang jalan, dan mengabadikan foto di tugu-tugu aksara bermotif batik yang membentuk kata “BATIK”.
0 komentar:
Posting Komentar